Jumat, 12 Juni 2015

Robi Navicula: Semua Masalah Ada Solusinya

Trash Stock didedikasikan untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan sampah plastik.
Even ini memadukan kesenian, musik, serta edukasi lingkungan. Juga memberikan inspirasi bahwa sampah plastik bisa memiliki nilai manfaat dan nilai jual jika dikelola dengan kreatif.
Trash Stock akan mengumpulkan lebih dari 40 seniman, musisi, wirausaha dan organisasi. Mereka akan berkumpul untuk berdiskusi, membuat jaringan, bertukar informasi dan memberikan buah pemikiran bersama.
Gede Robi Supriyanto, lebih dikenal dengan Robi “Navicula”, salah satu musisi dan juga aktivis yang berpartisipasi dalam event Trash Stock. Lebih dari 19 tahun tergabung band Navicula, Robi bukan saja berkomitmen dalam bermusik tapi juga menaruh perhatian serius terhadap isu lingkungan, khususnya bidang pertanian.
Berikut interview kami bersama Robi “Navicula”.
Kesibukan Robi saat ini apa?
Paling baru saya dan Navicula baru saja merilis album ke-8, Tatap Muka. Kami tur keliling Jakarta, Surabaya dan sedang menyiapkan untuk launching di Bali.
Lirik Navicula banyak tentang protes dan isu lingkungan. Menurut Robi itu efektif atau tidak?
Sebenarnya bukan protes sih, maksudnya kritik ada juga opini. Jadi tidak melulu melontarkan masalah. Saya pikir efektif karena media musik itu kan sangat cair bisa mengumpulkan masa dalam jumlah banyak. Media musik ini kan media seni, saya pikir sangat sesuai dengan budi pekerti bangsa kita (bangsa timur).
Karena seperti dulu, topik-topik berat disampaikan lewat wayang kulit. Jadi kita hanya melanjutkan budi pekerti itu bahwa menyampaikan topik apapun sangat efektif dengan meggunakan media cair seperti seni. Salah satunya adalah musik.
Pernah tergabung dalam kegiatan lingkungan apa saja?
Selain musisi sebenarnya saya adalah seorang petani. Saya sangat mendukung pertanian organik dan sustainability dalam penyediaan pangan, kedaulatan pangan. Saya sangat passion untuk masalah itu. Kita juga bekerja sama dengan organisasi manapun, yaitu Greenpeace, LIPI, Indonesia Corruption Watch, Sawit Watch, Bali Cantik Tanpa Plastik, Eco Bali, dengan individu dan juga pemerintah.
Tahun 2007 pemerintah pernah menjadikan Navicula sebagai Duta Lingkungan Hidup Bali. Ya kita terbuka. Dan kita masih tetap menjaga hubungan ini. Karena kita percaya  masalah yang kompleks ini hanya memiliki satu solusi yaitu kolaborasi.
Setiap orang menyumbang atau berkontribusi di bidangnya masing-masing, akademisi lewat akademisi, birokrat lewat birokrasi, dokter lewat medis. Kalau ini semua berkontribusi untuk membuat Indonesia menjadi Indonesia yang lebih baik saya pikir di sana lah harapannya.
Urban farming itu seperti apa? Dan kenapa Robi mengkampanyekan hal tersebut?
Saya dulu sempat tinggal di Denpasar. Sebenarnya kebun saya yang dalam jumlah besar itu di kampung di Pupuan. Tapi di Denpasar saya tinggal di lingkungan di mana lahannya kecil. Ada banyak lahan di sudut rumah yang tidak terpakai. Ternyata begitu saya diskusikan, banyak orang yang tertarik.
Jadi, di ruang yang tidak terpakai ini pertanian bisa saja dilakukan kayak hidroponik atau yang lain. Makanya saya bikin satu kata yang cukup mewakili kegiatan itu, urban karena kita tinggal di kota, farming atau pertanian. Jadi urban farming adalah pertanian dalam kota.
Tujuan kegiatan tersebut seperti apa?
Saya percaya anak-anak muda mengikuti sesuatu tren seperti isu lingkungan. Sepuluh tahun lalu band kita Navicula, sudah menyuarakan isu lingkungan karena belum jadi isu populaer saat itu. Ketika kita ngomongin kali mati, reboisasi. Kata green saja belum familiar 10 tahun lalu.
Tapi kita bersyukur, anak-anak sekarang sudah mengerti ketika ditanya green atau kesadaran lingkungan. Jadi isu itu sudah menjadi isu populer sehingga isu yang kita sampaikan bisa jadi lebih spesifik, tentang deforestasi, Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, pemisahan sampah plastik dan recycle. Karena orang secara garis besar sudah paham isu green dan green itu keren, kalau kamu melek lingkungan kamu jadi anak muda yang keren.
Saya pikir di sini lah letak bagaimana kita menjadikan pertanian adalah sebuah profesi keren. Apalagi di Bali petani itu identik dengan kemiskinan. Coba deskripsikan petani itu bagaimana? Petani itu ompong, tua, bajunya bekas anak, sangat butut, selalu identik dengan kemiskinan. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Kalau ingin memajukan Indonesia sebagai negara agrikultur, perhatikan profesi petani.
Ya, di sini saya juga ingin terlibat dengan menjabarkan diri seperti petani. Tapi apakah saya terlihat kumuh? Gak juga. Petani juga bisa menjadi keren. Jadi harapan saya bahwa anak-anak muda menganggap profesi petani itu keren. Kenapa? Karena ketika kita ngomong sama teman-teman petani di Jepang, California, Australia, kalau anak muda yang main musik itu bisa makmur dengan bertani secara pintar.
Bagaimana keadaan Bali sekarang dengan sampah plastiknya?
Ini masih menjadi masalah. Tapi kita harus melihat bahwa semua masalah pasti ada solusinya. Masalah antonimnya solusi, berarti semua masalah pasti ada solusinya. Kita saat ini melihat bahwa sampah plasik di Bali ini tidak pernah dilihat solusinya.
Kalau kita hitung sampah di Bali rata-rata 11 ton per hari sampah padat. Ternyata ketika dipilah, 70 persen merupakan sampah organik dan 30 persen non organik. Sampah organik kan sesuatu yang bisa dikembalikan ke alam dan alam membutuhkan ini. Apabila dijadikan kompos akan bermanfaat dan bukan menjadi sampah.
Kalau dikelola pemerintah Bali dengan harga pupuk organik Rp 4.000 per kilo, dari 70 persen sampah ini pemerintah Bali bisa mendapatkan Rp 4 triliun per tahun. Itu uang yang sangat besar apabila dikelola dengan benar. Karena ini bisa menjadi sumber daya asal sampah dipisah.
Selama ini menjadi sampah karena 100 persen digabung dan dibuang di TPA. Solusi mencari TPA baru itu bagi saya bukan solusi, malah menambah sampah.
Tiga puluh persen sampah non organik ini masalah? Belum tentu. Ternyata 25 persen dari sampah non organik ini mempunyai nilai juga. Itu pemulung bisa beli seperti bekas botol, tembaga, dan alumunium. Saya lihat plang “Pemulung Dilarang Masuk”. Saya agak miris karena saya pikir siapa pahlawan sampah di Bali sebenarnya ya pemulung. Kenapa kita tidak bantu pekerjaan dia dengan memisahkan sampah agar dia tidak membongkar dan mengorek sampah?
Saya saja memiliki langganan pemulung yang selalu saya kasih ini sampah botol dan sampah lainnya. Terkadang saya dikasih uang oleh mereka. Jadi ibaratnya dengan menukar 10 botol bir saya bisa mendapatkan 1 bir baru. Maksud saya, ini ada duitnya.
Lima persen ini baru bisa kita bilang sampah itu soft plastik, sampah kresek lah, plastik bungkus snack-snack. Tapi ini kan hanya lima persen dari 11 ton. Apabila pemerintah memiliki solusi seperti ini mungkin TPA akan lama penuhnya karena ini hanya lima persen dan dia ringan.
Album Navicula tahun lalu terbuat dari bahan bekas tetra pack dipadatkan seperti papan. Kalau kita melihat solusinya sebenarnya ada solusinya. Kalau melihat itu menjadi masalah ia akan tetap jadi masalah. Saya pikir yang belum ada saat ini adalah keseriusan. Dari kalangan bawah sudah ada inisiatif memisahkan sampah recycling, tapi akan lebih signifikan lagi kalau pemerintah juga terlibat.
Kalau di Negara maju kita denda loh kalau mencampur sampah. Sekarang Bali mau maju atau mundur?
Bali sebenarnya sudah punya konsep Tri Hita Karana. Tempat suci tidak boleh diletehkan (dicemari). Leteh itu adalah pengotoran secara sekala (fisik) maupun niskala (metafisik). Tempat yang dianggap suci di Bali seperti kuburan, pasar, pura, sungai, subak, segara tidak boleh diletehkan.
Mengapa kita terlau berkutat di sesuatu yang niskala? Sesuatu yang abstrak. Tempat suci tidak boleh diletehkan tapi setelah upacara sampah berserakan di mana-mana. Itu kan termasuk mengotori atau meletehkan secara skala yang sudah jelas-jelas kita lihat secara fisik. Jika kita berpikir bahwa mengotori tempat suci dengan sampah plastik juga bagian dari pengotoran atau meletehkan tempat tersebut, menurut saya, secara awig-awig Bali punya solusi kok.
Kita ngomong ritual, penyucian, buktinya mana? Jangan terlalu berkutat di ritual saja tapi juga etika dan tatwa. Seperti konsep yang mengatakan bahwa ritual adalah kulit telur, etika putih telur dan tatwa filosofinya di kuning telur dan itu harus seimbang.
Akar penyebab banyaknya sampah itu adalah kurangnya manajemen sampah tersebut?Manajemen dari pemerintah, pemilahan sampah, edukasi lebih banyak ke desa-desa juga. Karena sebenarnya orang Bali cukup bersih. Mereka nyapu setiap pagi dan membuangnya di tegalan. Cuma, kurang informasi bahwa plastik itu kotor. Kalau zaman dulu yang ada hanya sampah organik, dibuang ke tegalan akan menjadi sesuatu yang berguna.
Jadi informasi sampah tidak boleh tercampur dan keseriusan dari pemerintah ini isu urgen. Karena Bali ini pulaunya kecil, masyarakatnya terdata.
Bagaimana proses kreatif lagu tolak tas kresek?
Dukungan syaa pribadi terhdap Bali cantik tanpa plastik pada saat itu karena mereka lagi kampanye ke swalayan-swalayan untuk mengurangi tas plastik. Tas plastik mungkin susah untuk dikurangi secara tiba-tiba untuk level-level pasar tradisional tapi bisa. Ada berbagai negara sudah menerapkan pajak untuk tas plastik. Kalau dipajakin kan orang malas beli tas plastik. Kenapa sekarang banyak yang memakai tas plastik?  Karena gratis.
Apa kiat-kiat untuk mengurangi sampah plastik?
Saya pikir anak muda sekarang sudah tahu informasi apalagi dengan adanya internet. Banyak sekali ada informasi tinggal googling saja. Yang kita terapkan ini adalah peduli gak? Seperti kata Gandhi “yang saya takutkan untuk sebuah bangsa adalah ketidak pedulian”. Dan saya percaya juga ancaman terbesar dari negara ini adalah ketidakpedulian.
Kalau kamu peduli pasti kamu mau berusaha mencari tahu dan ingin terlibat dengan cara yang kamu bisa. Kalau saya lewat musik dan diskusi.
Media lain yang pernah Robi gunakan untuk mengampanyekan masalah lingkungan ini apa saja?
Apa saja. Saya juga pernah terlibat dalam film tentang hutan. Konser di hutan juga, dan juga saya punya perusahaan multimedia akarumput.com. Kita merilis video tentang anak jalanan, kebijakan-kebijakan lokal di level underground. Lewat video, macam-macam lah. Sekarang sudah zamannya multimedia. Tulisan, foto, musik, video, blog medsos, konser, turun ke jalan apapun.
Efektivitasnya bagaimana?
Hasilnya mungkin belum sempat saya ukur dengan monitoring dan evaluasi. Tapi saya melihat waktu Navicula terbentuk dahulu belum ada band-band menyuarakan isu lingkungan. Sekarang semua band mengangkat isu itu. Saya pikir kesuksesan bahwa orang-orang zaman sekarang sudah melek bahwa ini adalah isu yang keren.
Ya, walaupun itu adalah kesadaran bersama tapi saya bangga telah menjadi bagian dari perubahan itu.
Kenapa Robi tertarik berpartisipasi di acara TrashStock? Gimana persiapannya?
Karena ada kesempatan dan kemampuan. Apabila ada kesempatan selalu diusahakan untuk ikut berpartisipasi dan juga karena berkomitmen dengan isu ini. Kolaborasi dari seluruh lapisan masyarakat akan memberikan efek yang lebih baik. Saya tidak memiliki persiapan khusus, saya selalu siap untuk mendukung kegiatan seperti ini.
Harapan untuk Bali ke depan?
Bali adalah rumah saya, saya ingin rumah yang layak. Secara lingkungan dia bersih, secara pangan dia berdaulat secara kenyamanan dan keamanan itu ada. Saya pikir ketika orang kenyang pasti ada aman dan nyaman, orang makmur pasti susah  untuk dibikin konflik.
Seperti perkataan Gandhi, “Tidak perlu ngomong agama atau politik, apabila perutmu kosong”. Kemakmuran dan keamanan itu dapat terwujud apabila sila ke-5 dapat diterapkan yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Adil tempatnya aman, dapat hidup nyaman, makmur, kekayaan negeri ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk rakyat. [b]
Wawancara oleh Yurika – Trash Stock Team.

artikel ini dimuat dalam :
http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2015/06/04/robi-navicula-semua-masalah-ada-solusinya.html

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda