Trash Stock didedikasikan untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan sampah plastik.
Even ini memadukan kesenian, musik, serta edukasi lingkungan. Juga
memberikan inspirasi bahwa sampah plastik bisa memiliki nilai manfaat
dan nilai jual jika dikelola dengan kreatif.
Trash Stock akan mengumpulkan lebih dari
40 seniman, musisi, wirausaha dan organisasi. Mereka akan berkumpul
untuk berdiskusi, membuat jaringan, bertukar informasi dan memberikan
buah pemikiran bersama.
Gede Robi Supriyanto, lebih dikenal dengan Robi “Navicula”, salah
satu musisi dan juga aktivis yang berpartisipasi dalam event Trash
Stock. Lebih dari 19 tahun tergabung band Navicula, Robi bukan saja
berkomitmen dalam bermusik tapi juga menaruh perhatian serius terhadap
isu lingkungan, khususnya bidang pertanian.
Berikut interview kami bersama Robi “Navicula”.
Kesibukan Robi saat ini apa?
Paling baru saya dan Navicula baru saja merilis album ke-8,
Tatap Muka. Kami tur keliling Jakarta, Surabaya dan sedang menyiapkan untuk launching di Bali.
Lirik Navicula banyak tentang protes dan isu lingkungan. Menurut Robi itu efektif atau tidak?
Sebenarnya bukan protes sih, maksudnya kritik ada juga opini.
Jadi tidak melulu melontarkan masalah. Saya pikir efektif karena media
musik itu kan sangat cair bisa mengumpulkan masa dalam jumlah banyak.
Media musik ini kan media seni, saya pikir sangat sesuai dengan budi
pekerti bangsa kita (bangsa timur).
Karena seperti dulu, topik-topik berat disampaikan lewat wayang
kulit. Jadi kita hanya melanjutkan budi pekerti itu bahwa menyampaikan
topik apapun sangat efektif dengan meggunakan media cair seperti seni.
Salah satunya adalah musik.
Pernah tergabung dalam kegiatan lingkungan apa saja?
Selain musisi sebenarnya saya adalah seorang petani. Saya sangat mendukung pertanian organik dan
sustainability dalam penyediaan pangan, kedaulatan pangan. Saya sangat
passion untuk
masalah itu. Kita juga bekerja sama dengan organisasi manapun, yaitu
Greenpeace, LIPI, Indonesia Corruption Watch, Sawit Watch, Bali Cantik
Tanpa Plastik, Eco Bali, dengan individu dan juga pemerintah.
Tahun 2007 pemerintah pernah menjadikan Navicula sebagai Duta
Lingkungan Hidup Bali. Ya kita terbuka. Dan kita masih tetap menjaga
hubungan ini. Karena kita percaya masalah yang kompleks ini hanya
memiliki satu solusi yaitu kolaborasi.
Setiap orang menyumbang atau berkontribusi di bidangnya
masing-masing, akademisi lewat akademisi, birokrat lewat birokrasi,
dokter lewat medis. Kalau ini semua berkontribusi untuk membuat
Indonesia menjadi Indonesia yang lebih baik saya pikir di sana lah
harapannya.
Urban farming itu seperti apa? Dan kenapa Robi mengkampanyekan hal tersebut?
Saya dulu sempat tinggal di Denpasar. Sebenarnya kebun saya
yang dalam jumlah besar itu di kampung di Pupuan. Tapi di Denpasar saya
tinggal di lingkungan di mana lahannya kecil. Ada banyak lahan di sudut
rumah yang tidak terpakai. Ternyata begitu saya diskusikan, banyak orang
yang tertarik.
Jadi, di ruang yang tidak terpakai ini pertanian bisa saja dilakukan
kayak hidroponik atau yang lain. Makanya saya bikin satu kata yang cukup
mewakili kegiatan itu,
urban karena kita tinggal di kota,
farming atau pertanian. Jadi
urban farming adalah pertanian dalam kota.
Tujuan kegiatan tersebut seperti apa?
Saya percaya anak-anak muda mengikuti sesuatu tren seperti isu
lingkungan. Sepuluh tahun lalu band kita Navicula, sudah menyuarakan isu
lingkungan karena belum jadi isu populaer saat itu. Ketika kita
ngomongin kali mati, reboisasi. Kata
green saja belum familiar 10 tahun lalu.
Tapi kita bersyukur, anak-anak sekarang sudah mengerti ketika ditanya
green
atau kesadaran lingkungan. Jadi isu itu sudah menjadi isu populer
sehingga isu yang kita sampaikan bisa jadi lebih spesifik, tentang
deforestasi, Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, pemisahan sampah plastik
dan
recycle. Karena orang secara garis besar sudah paham isu
green dan green itu keren, kalau kamu melek lingkungan kamu jadi anak
muda yang keren.
Saya pikir di sini lah letak bagaimana kita menjadikan pertanian
adalah sebuah profesi keren. Apalagi di Bali petani itu identik dengan
kemiskinan. Coba deskripsikan petani itu bagaimana? Petani itu ompong,
tua, bajunya bekas anak, sangat butut, selalu identik dengan kemiskinan.
Ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Kalau ingin memajukan
Indonesia sebagai negara agrikultur, perhatikan profesi petani.
Ya, di sini saya juga ingin terlibat dengan menjabarkan diri seperti
petani. Tapi apakah saya terlihat kumuh? Gak juga. Petani juga bisa
menjadi keren. Jadi harapan saya bahwa anak-anak muda menganggap profesi
petani itu keren. Kenapa? Karena ketika kita ngomong sama teman-teman
petani di Jepang, California, Australia, kalau anak muda yang main musik
itu bisa makmur dengan bertani secara pintar.
Bagaimana keadaan Bali sekarang dengan sampah plastiknya?
Ini masih menjadi masalah. Tapi kita harus melihat bahwa semua
masalah pasti ada solusinya. Masalah antonimnya solusi, berarti semua
masalah pasti ada solusinya. Kita saat ini melihat bahwa sampah plasik
di Bali ini tidak pernah dilihat solusinya.
Kalau kita hitung sampah di Bali rata-rata 11 ton per hari sampah
padat. Ternyata ketika dipilah, 70 persen merupakan sampah organik dan
30 persen non organik. Sampah organik kan sesuatu yang bisa dikembalikan
ke alam dan alam membutuhkan ini. Apabila dijadikan kompos akan
bermanfaat dan bukan menjadi sampah.
Kalau dikelola pemerintah Bali dengan harga pupuk organik Rp 4.000
per kilo, dari 70 persen sampah ini pemerintah Bali bisa mendapatkan Rp 4
triliun per tahun. Itu uang yang sangat besar apabila dikelola dengan
benar. Karena ini bisa menjadi sumber daya asal sampah dipisah.
Selama ini menjadi sampah karena 100 persen digabung dan dibuang di
TPA. Solusi mencari TPA baru itu bagi saya bukan solusi, malah menambah
sampah.
Tiga puluh persen sampah non organik ini masalah? Belum tentu.
Ternyata 25 persen dari sampah non organik ini mempunyai nilai juga. Itu
pemulung bisa beli seperti bekas botol, tembaga, dan alumunium. Saya
lihat plang “Pemulung Dilarang Masuk”. Saya agak miris karena saya pikir
siapa pahlawan sampah di Bali sebenarnya ya pemulung. Kenapa kita tidak
bantu pekerjaan dia dengan memisahkan sampah agar dia tidak membongkar
dan mengorek sampah?
Saya saja memiliki langganan pemulung yang selalu saya kasih ini
sampah botol dan sampah lainnya. Terkadang saya dikasih uang oleh
mereka. Jadi ibaratnya dengan menukar 10 botol bir saya bisa mendapatkan
1 bir baru. Maksud saya, ini ada duitnya.
Lima persen ini baru bisa kita bilang sampah itu soft plastik, sampah
kresek lah, plastik bungkus snack-snack. Tapi ini kan hanya lima
persen dari 11 ton. Apabila pemerintah memiliki solusi seperti ini
mungkin TPA akan lama penuhnya karena ini hanya lima persen dan dia
ringan.
Album Navicula tahun lalu terbuat dari bahan bekas
tetra pack
dipadatkan seperti papan. Kalau kita melihat solusinya sebenarnya ada
solusinya. Kalau melihat itu menjadi masalah ia akan tetap jadi masalah.
Saya pikir yang belum ada saat ini adalah keseriusan. Dari kalangan
bawah sudah ada inisiatif memisahkan sampah
recycling, tapi akan lebih signifikan lagi kalau pemerintah juga terlibat.
Kalau di Negara maju kita denda loh kalau mencampur sampah. Sekarang Bali mau maju atau mundur?
Bali sebenarnya sudah punya konsep Tri Hita Karana. Tempat suci tidak boleh
diletehkan (dicemari). Leteh itu adalah pengotoran secara
sekala (fisik) maupun
niskala (metafisik). Tempat yang dianggap suci di Bali seperti kuburan, pasar, pura, sungai, subak, segara tidak boleh
diletehkan.
Mengapa kita terlau berkutat di sesuatu yang
niskala? Sesuatu yang abstrak. Tempat suci tidak boleh
diletehkan tapi setelah upacara sampah berserakan di mana-mana. Itu kan termasuk mengotori atau
meletehkan
secara skala yang sudah jelas-jelas kita lihat secara fisik. Jika kita
berpikir bahwa mengotori tempat suci dengan sampah plastik juga bagian
dari pengotoran atau
meletehkan tempat tersebut, menurut saya, secara awig-awig Bali punya solusi kok.
Kita ngomong ritual, penyucian, buktinya mana? Jangan terlalu
berkutat di ritual saja tapi juga etika dan tatwa. Seperti konsep yang
mengatakan bahwa ritual adalah kulit telur, etika putih telur dan tatwa
filosofinya di kuning telur dan itu harus seimbang.
Akar penyebab banyaknya sampah itu adalah kurangnya manajemen sampah tersebut?Manajemen
dari pemerintah, pemilahan sampah, edukasi lebih banyak ke desa-desa
juga. Karena sebenarnya orang Bali cukup bersih. Mereka nyapu setiap
pagi dan membuangnya di tegalan. Cuma, kurang informasi bahwa plastik
itu kotor. Kalau zaman dulu yang ada hanya sampah organik, dibuang ke
tegalan akan menjadi sesuatu yang berguna.
Jadi informasi sampah tidak boleh tercampur dan keseriusan dari
pemerintah ini isu urgen. Karena Bali ini pulaunya kecil, masyarakatnya
terdata.
Bagaimana proses kreatif lagu tolak tas kresek?
Dukungan syaa pribadi terhdap Bali cantik tanpa plastik pada
saat itu karena mereka lagi kampanye ke swalayan-swalayan untuk
mengurangi tas plastik. Tas plastik mungkin susah untuk dikurangi secara
tiba-tiba untuk level-level pasar tradisional tapi bisa. Ada berbagai
negara sudah menerapkan pajak untuk tas plastik. Kalau dipajakin kan
orang malas beli tas plastik. Kenapa sekarang banyak yang memakai tas
plastik? Karena gratis.
Apa kiat-kiat untuk mengurangi sampah plastik?
Saya pikir anak muda sekarang sudah tahu informasi apalagi
dengan adanya internet. Banyak sekali ada informasi tinggal googling
saja. Yang kita terapkan ini adalah peduli gak? Seperti kata Gandhi
“yang saya takutkan untuk sebuah bangsa adalah ketidak pedulian”. Dan
saya percaya juga ancaman terbesar dari negara ini adalah
ketidakpedulian.
Kalau kamu peduli pasti kamu mau berusaha mencari tahu dan ingin
terlibat dengan cara yang kamu bisa. Kalau saya lewat musik dan diskusi.
Media lain yang pernah Robi gunakan untuk mengampanyekan masalah lingkungan ini apa saja?
Apa saja. Saya juga pernah terlibat dalam film tentang hutan.
Konser di hutan juga, dan juga saya punya perusahaan multimedia
akarumput.com. Kita merilis video tentang anak jalanan,
kebijakan-kebijakan lokal di level underground. Lewat video, macam-macam
lah. Sekarang sudah zamannya multimedia. Tulisan, foto, musik, video,
blog medsos, konser, turun ke jalan apapun.
Efektivitasnya bagaimana?
Hasilnya mungkin belum sempat saya ukur dengan monitoring dan
evaluasi. Tapi saya melihat waktu Navicula terbentuk dahulu belum ada
band-band menyuarakan isu lingkungan. Sekarang semua band mengangkat isu
itu. Saya pikir kesuksesan bahwa orang-orang zaman sekarang sudah melek
bahwa ini adalah isu yang keren.
Ya, walaupun itu adalah kesadaran bersama tapi saya bangga telah menjadi bagian dari perubahan itu.
Kenapa Robi tertarik berpartisipasi di acara TrashStock? Gimana persiapannya?
Karena ada kesempatan dan kemampuan. Apabila ada kesempatan
selalu diusahakan untuk ikut berpartisipasi dan juga karena berkomitmen
dengan isu ini. Kolaborasi dari seluruh lapisan masyarakat akan
memberikan efek yang lebih baik. Saya tidak memiliki persiapan khusus,
saya selalu siap untuk mendukung kegiatan seperti ini.
Harapan untuk Bali ke depan?
Bali adalah rumah saya, saya ingin rumah yang layak. Secara
lingkungan dia bersih, secara pangan dia berdaulat secara kenyamanan dan
keamanan itu ada. Saya pikir ketika orang kenyang pasti ada aman dan
nyaman, orang makmur pasti susah untuk dibikin konflik.
Seperti perkataan Gandhi, “Tidak perlu ngomong agama atau politik,
apabila perutmu kosong”. Kemakmuran dan keamanan itu dapat terwujud
apabila sila ke-5 dapat diterapkan yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia”. Adil tempatnya aman, dapat hidup nyaman, makmur,
kekayaan negeri ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk rakyat. [b]
Wawancara oleh Yurika – Trash Stock Team.
artikel ini dimuat dalam :
http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2015/06/04/robi-navicula-semua-masalah-ada-solusinya.html